Beranda | Artikel
Panduan Praktis Zakat Harta Karun Dan Barang Tambang
Rabu, 31 Juli 2013

PANDUAN PRAKTIS ZAKAT HARTA KARUN DAN BARANG TAMBANG

Oleh
Ustatadz Muhammad Wasitho Abu Fawaz Lc, MA

PENGERTIAN AR-RIKAZ DAN AL-MA’DIN
Istilah harta karun sudah sangat tidak asing lagi bagi kita. Dalam ilmu Fiqih Islam, harta karun atau harta terpendam dikenal dengan istilah ar-rikâz, sedangkan barang tambang dikenal dengan istilah al-ma’din.

Para Ulama telah sepakat tentang wajibnya zakat pada barang tambang dan barang temuan (harta karun), akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang makna barang tambang (al-ma’din), barang temuan (ar-rikâz), atau harta simpanan (kanz), jenis-jenis barang tambang yang wajib dikeluarkan zakatnya dan kadar zakat untuk setiap barang tambang dan temuan.

Menurut Hanafiyyah (para pengikut madzhab imam Abu Hanîfah), bahwa ar-rikâz dan al-ma’din adalah harta yang sama atau satu makna. Sedangkan menurut mayoritas Ulama (Mâlikiyyah, Syâfi’iyyah dan Hanabilah, pent), kedua hal tersebut maknanya berbeda.[1]

Ar-Rikâz, secara bahasa artinya adalah sesuatu yang terpendam dalam perut bumi berupa barang tambang atau harta terpendam. Sedangkan menurut pengertian syar’i, ar-rikâz ialah harta terpendam zaman jahiliyah yang didapatkan tanpa mengeluarkan biaya dan kerja keras, baik berupa emas, perak, maupun selainnya.

al-Ma’din, secara bahasa berasal dari kata al-‘adn yang berarti al-iqâmah. Dan inti segala sesuatu adalah ma’din-nya. Sedangkan menurut pengertian syar’i, ialah segala sesuatu yang keluar dari bumi yang tercipta dalam perut bumi dari sesuatu yang lain yang memiliki nilai.

Barang tambang ada yang berbentuk benda padat yang dapat dicairkan dan dibentuk dengan menggunakan api, seperti emas, perak, besi, tembaga, dan timah. Dan ada pula yang berbentuk cairan, seperti minyak, ter dan sejenisnya.

Menurut madzhab Hanafi, harta terpendam dan barang tambang adalah sama, sementara menurut mayoritas Ulama keduanya berbeda. Mereka berdalil dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَالْمَعْدِنُ جُبَارٌ ، وَفِى الرِّكَازِ الْخُمُسُ

menggali barang tambang mengandung resiko [2], dan pada harta terpendam seperlima[3]

Dalam hadits ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membedakan antara harta terpendam dan barang tambang.

LANDASAN DISYARIATKANNYA ZAKAT HARTA KARUN (TERPENDAM)
Para Ulama telah sepakat bahwa harta karun atau harta terpendam dan barang tambang wajib dikeluarkan zakatnya, berdasarkan keumuman firman Allâh Azza wa Jalla :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ

Wahai orang-orang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allâh) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. [al-Baqarah/2:267]

Dan berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَفِى الرِّكَازِ الْخُمُسُ

Dan pada harta terpendam (zakatnya) seperlima.[4]

JIKA SESEORANG MENEMUKAN HARTA KARUN, APA YANG HARUS DILAKUKAN?
Barangsiapa menemukan harta karun atau terpendam, maka ia tidak lepas dari lima keadaan berikut :

Pertama : Ia menemukannya di tanah yang tidak berpenghuni atau tidak diketahui pemiliknya. Maka harta itu menjadi milik orang yang menemukannya. Ia mengeluarkan zakat seperlimanya, dan empat perlimanya menjadi miliknya. Ini sebagaimana hadits :

عن عَمْرو بنِ شُعَيْبٍ عن أبيه عن جَدِّه : – أن النبيَّ صلى الله عليه وسلم قال في كَنْزٍ وَجَدَهُ رَجُلٌ في خَرِبَة جَاهِلِيَّة : إنْ وَجَدْتَهُ في قَرْيَةٍ مَسْكُونَةٍ أو في سَبِيلِ ميتاء فَعَرِّفْهُ , و إنْ وَجَدْتَهُ في خَرِبَة جَاهِلِيَّة أوفي قَرْيَةٍ غير مَسْكُونَةٍ فَفِيهِ وفِي الرِّكازِ الخُمْسُ

Diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata –tentang harta terpendam yang ditemukan seseorang di puing-puing Jahiliyah- , “Jika ia menemukannya di kampung yang berpenghuni atau di jalan yang dilalui orang, maka ia harus mengumumkannya. Jika ia menemukannya di puing-puing Jahiliyah atau di kampung yang tidak berpenghuni, maka itu menjadi miliknya dan zakatnya adalah seperlima.”[5]

Kedua: Ia menemukannya di jalan yang dilalui orang atau di kampung yang berpenghuni, maka ia harus mengumumkannya. Jika pemilik harta datang, maka harta itu milik pemilik harta. Jika tidak ada yang datang, maka harta itu menjadi haknya, berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas.

Ketiga: Ia menemukannya di tanah milik orang lain. Dalam hal ini ada tiga pendapat Ulama:[6]

  1. Harta itu untuk pemilik tanah. Ini adalah pendapat Abu Hanîfah dan Muhammad bin al-Hasan, qiyas dari pendapat imam Mâlik, dan salah satu riwayat dari imam Ahmad.
  2. Harta itu milik orang yang menemukannya. Ini adalah riwayat yang lain dari imam Ahmad, dan dianggap bagus oleh Abu Yusuf (Murid Abu Hanîfah). Mereka mengatakan, karena harta terpendam tidaklah dimiliki dengan kepemilikan tanah. Jadi harta itu menjadi milik orang yang menemukannya.
  3. Dengan perincian: jika harta itu diakui oleh pemilik tanah, maka harta itu menjadi miliknya. Jika ia tidak mengakuinya, maka harta itu milik pemilik tanah yang pertama. Ini adalah madzhab imam asy-Syâfi’i.

Keempat : Ia menemukannya di tanah yang dimilikinya dengan pemindahan kepemilikan, dengan cara membeli atau selainnya.[7] Dalam hal ini ada dua pendapat:

  1. Harta itu milik orang yang menemukannya di tanah miliknya. Ini adalah madzhab imam Mâlik, imam Abu Hanîfah dan pendapat yang masyhur dari imam Ahmad, yaitu jika pemilik pertama tidak mengakuinya.
  2. Harta itu milik pemilik tanah yang sebelumnya, jika ia mengakuinya. Jika tidak, maka milik pemilik tanah yang sebelumnya lagi dan seterusnya. Jika tidak diketahui pemiliknya, maka harta tersebut hukumnya seperti harta hilang, yaitu menjadi luqathah (barang temuan). Ini adalah pendapat imam asy-Syâfi’i.

Kelima: Ia menemukannya di dar al-harb (negeri yang diperangi). Jika digali bersama-sama oleh kaum Muslimin, maka itu adalah ghanimah (harta rampasan perang), hukumnya seperti ghanimah.

Jika ia mengusahakannya sendiri tanpa bantuan orang lain, dalam hal ini ada dua pendapat Ulama :[8]

  1. Harta itu milik orang yang menemukannya. Ini adalah madzhab Ahmad, diqiyaskan dengan harta yang ditemukannya di tanah yang tidak berpenghuni.
  2. Jika pemilik tanah mengetahuinya, sedangkan ia kafir harbi yang berusaha mempertahankannya, maka itu adalah ghanimah. Jika pemiliknya tidak mengetahuinya dan tidak berusaha mempertahankannya, maka itu adalah harta terpendam. Ini adalah madzhab imam Mâlik, Abu Hanîfah, dan Syafi’iyyah. Berdasarkan perincian yang mereka buat.

APAKAH DISYARATKAN NISHAB DAN HAUL PADA HARTA TERPENDAM?
Tidak disyaratkan nishab dan haul (berputarnya harta selama satu tahun) pada harta terpendam, dan wajib dikeluarkan zakatnya ketika ditemukan. Yaitu dikeluarkan seperlima atau dua puluh persen (20 %), berdasarkan makna yang nampak dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَفِى الرِّكَازِ الْخُمُسُ

Pada harta terpendam (zakatnya) seperlima.[9]

Dan ini adalah pendapat mayoritas Ulama.

SIAPAKAH YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT DARI SEPERLIMA HARTA TERPENDAM TERSEBUT?
Para Ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan tempat penyaluran seperlima harta terpendam menjadi dua pendapat :[10]

Pendapat Pertama : Tempat penyaluran seperlima tersebut sama dengan tempat penyaluran zakat untuk delapan golongan. Ini adalah pendapat imam asy-Syâfi’i dan imam Ahmad. Akan tetapi imam Ahmad mengatakan, jika ia menyedekahkannya kepada orang miskin, maka itu sudah cukup baginya.

Mereka melandasi pendapatnya ini dengan dua hujjah (argument), yaitu:

  1. Apa yang diriwayatkan dari Abdullâh bin Bisyr al-Khats’ami rahimahullah , dari seseorang dari kaumnya yang biasa dipanggil Hajmah. Ia berkata, “Sekantung uang kuno jatuh menimpaku di Kufah dekat pekuburan Bisyr. Di dalamnya berisi empat ribu Dirham. Aku membawanya kepada Ali bin Abu Thâlib Radhiyallahu anhu , maka dia berkata, “Bagikanlah lima bagian!” aku membagikannya. Ali Radhiyallahu anhu mengambil seperlima darinya dan memberikan kepadaku empat perlimanya. Saat aku ingin pergi, dia memanggilku seraya berkata, “Apakah ada tetanggamu yang fakir dan miskin ?” Aku jawab, “Ya.” Dia berkata, “Ambillah ini, dan bagikan kepada mereka.”[11]
  2. Karena diperoleh dari bumi, maka disamakan dengan tanaman.

Pendapat Kedua : Tempat penyalurannya adalah tempat penyaluran harta fai’ (harta rampasan yang diperoleh dari orang kafir tanpa peperangan, pent). Ini adalah pendapat imam Abu Hanîfah, imam Mâlik, dan sebuah riwayat dari imam Ahmad yang dishahihkan oleh Ibnu Qudâmah.

Mereka melandasi pendapatnya ini dengan dua hujjah (argument), yaitu :
1. Apa yang diriwayatkan dari asy-Sya’bi, bahwa ada seorang lelaki menemukan seribu Dinar yang terkubur di luar Madinah. Ia membawanya ke hadapan Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu anhu, lalu Umar Radhiyallahu anhu mengambil seperlima darinya, yaitu dua ratus Dinar, dan memberikan sisanya kepada orang tersebut. Mulailah Umar Radhiyallahu anhu membagikan dua ratus dinar tersebut kepada kaum Muslimin yang hadir hingga tersisa beberapa dinar, maka dia berkata, “Dimanakah pemilik dinar tadi ?” Ia bangkit dan berjalan kearahnya, lalu Umar Radhiyallahu anhu berkata, “Ambillah dinar ini, karena ini milikmu.”[12]

Mereka mengatakan, jikalau itu zakat, pastilah dikhususkan kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya, dan tidak dikembalikan lagi kepada orang yang menemukannya.

2. Karena ini wajib atas kafir dzimmi, sementara zakat tidak wajib atasnya. Dan karena harta itu termasuk harta makhmus (yang harus dikeluarkan seperlimanya) yang telah terlepas kepemilikannya dari tangan orang kafir (dengan anggapan harta itu termasuk harta terpendam milik kaum jahiliyah), maka disamakan seperti pembagian seperlima harta ghanimah.

Syaikh Abu Mâlik Kamal bin as-Sayyid Salîm berkata, “Dua dalil di atas tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Oleh karena itu syaikh al-Albâni rahimahullah berkata,[13] “Tidak ada dalam al-hadits yang menguatkan penjelasan salah satu dari kedua belah pihak atas pihak yang lainnya. Oleh karena itu, aku memilih dalam ahkâm (hukum-hukum) harta terpendam, tempat penyalurannya dikembalikan kepada keputusan (kebijakan) pemimpin kaum Muslimin. Ia menyalurkannya ke mana saja yang ada kemaslahatan bagi Negara. Inilah pendapat yang dipilih Abu Ubaid dalam kitab al-Amwâl.”[14]

APAKAH BARANG TAMBANG TERMASUK DALAM HUKUM HARTA TERPENDAM YANG WAJIB DIKELUARKAN ZAKATNYA?
Dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan para Ulama fiqih menjadi dua pendapat :

Pendapat Pertama : Imam Mâlik –dalam salah satu dari dua riwayatnya-, dan imam asy-Syâfi’i dalam pendapatnya yang kedua berpendapat tidak ada kewajiban apa-apa pada barang tambang kecuali pada dua barang berharga (emas dan perak).

Pendapat Kedua : Mayoritas Ulama berpendapat, barang tambang dengan berbagai macam jenisnya, seperti emas, perak, tembaga, besi, timah dan minyak bumi, seperti rikâz (barang terpendam) yang wajib dikeluarkan zakatnya, walaupun mereka berselisih tentang kadar zakatnya.[15]

TARJIH :
Pendapat yang râjih (kuat dan benar) adalah pendapat kedua, berdasarkan keumuman firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ

Wahai orang-orang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allâh) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. [al-Baqarah/2:267]

Tidak diragukan lagi, minyak bumi yang dikenal dengan sebutan “emas hitam” termasuk barang tambang yang paling berharga. Oleh karena itu, tidak sah mengeluarkannya dari hukum zakat ini. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab

KADAR ZAKAT YANG WAJIB DiKELURKAN PADA BARANG TAMBANG
Dalam masalah ini juga terjadi perbedaan pendapat para Ulama fiqih menjadi beberapa pendapat :

Pendapat Pertama: Imam Abu Hanîfah dan para sahabatnya, Abu Ubaid, dan selainnya berpendapat bahwa wajib dikeluarkan seperlima atau dua puluh persen (20 %) dari barang tambang seperti harta terpendam (harta karun).

Pendapat Kedua: Mayoritas Ulama berpendapat bahwa zakatnya seperempat puluh atau dua setengah persen (2,5 %), diqiyaskan dengan emas dan perak.

Sebab perselisihan ini adalah perbedaan pendapat tentang makna ar-rikâz (harta terpendam/harta karun); apakah barang tambang termasuk dalam kategorinya ataukah tidak?

Pendapat Ketiga: Sebagian Ulama fiqih membedakannya; jika hasil yang didapat banyak, jika dibandingkan dengan usaha dan biayanya, maka wajib dikeluarkan seperlimanya (20 %). Jika hasil yang didapat sedikit dibandingkan dengan usaha dan biayanya, maka wajib dikeluarkan seperempat puluhnya (2,5 %).[16]

Demikian penjelasan singkat tentang panduan praktis zakat harta karun atau harta terpendam dan barang tambang. Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XV/1433H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, Karya Wahbah Az-Zuhaili II/775.
[2]. Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Yang dimaksud (وَالْمَعْدِنُ جُبَارٌ) maknanya ialah barangsiapa menggali barang tambang di tanah miliknya, atau di kampung yang tidak berpenghuni atau tidak dilalui oleh banyak orang, lalu tiba-tiba ada orang lewat di tempat galian tersebut dan ia jatuh ke dalamnya, kemudian ia mati, maka pemilik tempat galian barang tambang tadi tidak ada kewajiban menanggungnya.” (Lihat Syarah Shohih Muslim VI/134).
[3]. HR. al-Bukhari II/545 no.1428, dan Muslim III/1334 no.1710, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[4]. HR. al-Bukhari II/545 no.1428, dan Muslim III/1334 no.1710, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[5]. HR. Abu Daud II/606 no.4593, asy-Syâfi’ dalam Musnad-nya I/96 (440), Ahmad II/207, dan al-Baihaqi II/15 no.7898. Dan sanadnya dinyatakan Hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh Sunan Abi Daud I/321 no.1504.
[6]. Fathul Qadîr II/183, al-Mughni III/49, al-Majmû’ VI/41, al-Umm II/41, dan al-Mabsûth II/214. Dinukil dari Shahîh Fiqhis-Sunnah II/59.
[7]. al-Mughni III/49, al-Mudawwanah (I/290), al-Majmû’ VI/40, al-Umm II/44, dan al-Mabsûth II/212.
[8]. al-Mughni III/50, al-Mudawwanah (I/291), al-Majmu’ VI/40, dan al-Mabsûth II/215.
[9]. HR. al-Bukhari II/545 no.1428, dan Muslim III/1334 no.1710, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[10]. al-Mughni III/51, al-Mudawwanah (I/292), al-Umm II/44, dan al-Mabsûth II/212.
[11]. Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq no.7179, ath-Thahawi dalam Syarh Ma’ani Al-Atsar III/304, dan al-Baihaqi IV/157 dengan sanad yang dha’if (lemah).
[12]. al-Amwâl karya Ibnu Ubaid no.874 dengan sanad yang dha’if (lemah).
[13]. Tamâmul Minnah hlm. 378.
[14]. Shahîh Fiqhis-Sunnah, II/61.
[15]. al-Mughni III/50, al-Mudawwanah (I/292), al-Umm II/45, dan al-Mabsûth II/295.
[16]. Fiqihuz zakat I/471 dan halaman setelahnya.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3686-panduan-praktis-zakat-harta-karun-dan-barang-tambang.html